Cerita Kule

Pening Dikejar Skripsi, Healing Mendaki Gunung Bisa Jadi Opsi

Published

on

Oleh: Kanda Ahmad Robiyana

ini berawal dari kegelisahan para semester akhir, melihat banyak kawan seangkatan yang sudah sidang . Menjajaki yang terletak di Provinsi Banten adalah pilihan kami untuk sekedar merehatkan otak dari banyaknya tuntutan yang kami dapati.

Tak ada persiapan yang matang dari jauh-jauh hari. Ketika melihat teman seangkatan sidang pada hari Jum’at. Kami memutuskan langsung berangkat dihari Sabtu.

Dengan hanya berbekal baju ganti, kurma, pisang, uli, dan air minum, saya memberanikan diri untuk berjalan-jalan ke dataran tinggi dengan ketinggian 1778 MDPL. Selain merehatkan otak, alasan lain saya mengikuti ini adalah untuk mandi di sumur yang ada di puncak.

Tepat jam 11.30 WIB kami meninggalkan basecamp dan memulai . Karang adalah hal baru bagi saya dan rekan saya bernama Hafiz, dan ini adalah kali ke-4 bagi rekan saya yang bernama Suhandi.

Dari basecamp saya menanggap sepele ini, tapi baru pertengahan sajah belum sampai pos 2 saya sudah mau menyerah karena tidak kuat. Tapi rekan saya selalu menyemangati agar tetap melanjutkan pendakian. Bahkan mereka pun menawarkan untuk membawakan tas saya.

Pada jam 12.00 WIB adzan Dzuhur berkumandang, dan kami berhenti sejenak untuk menyantap bekal yang sudah kami sediakan agar energi kami kembali pulih. Sebelum pos 2 kami disuguhkan pemandangan yang luar biasa indah, kami juga melihat warga sedang menanam di kebun yang kami lewati.

Sekitar pukul 12.30 WIB kami sampai di pos 2, selang 30 menit kami kembali melanjutkan pendakian. Lagi-lagi saya merasa ingin menyerah, karena medan yang mulai terjal, kedua tangan diharuskan memegang akar-akar pohon dengan posisi merayap.

Hari itu banyak sekali , ada pendaki perempuan sampai anak kecil berusia 5 tahunan, dan itu menjadi semangat bagi saya ‘dia saja bisa masa saya gak bisa’.

Baca Juga:  Jalinan Komunikasi Buruk, Mahasiswa Lebak Desak WH Minta Maaf dan Lakukan Evaluasi

Pada pukul 14.20 WIB kami akhirnya kami sampai di puncak tujuh sumur, saya hampir tidak percaya karena berhasil mencapai puncak, bahagia dan haru menjadi teman kala itu. Hafiz berkata “Kita sampai puncak karena mental dan kesabaran, kalau keduanya tidak ditanamkan pada seorang pendaki tidak akan sampai pada puncak gunung .”

Ketika dipuncak kami mengobrol dengan seorang bapak-bapak, beliau bercerita bahwa tadi beberapa pendaki yang turun lagi karena mungkin sudah tidak kuat. Kemudian Hafiz bilang ke saya “Tuh kan Bi, karena mereka gak kuat mentalnya, tadi juga kalau lu gak kuat mentalnya lu pasti bakalan turun dipertengahan .”

Seperti orang lain pada umumnya, etika kami menghabiskan logistik yang kami bawa dan berswafoto, kebetulan saat itu cuaca sedang cerah. Kami juga disuguhkan cerita mengenai sejarah tujuh sumur ini dari bapak-bapak yang tergabung dalam rombongan lain.

Pada pukul 16.30 WIB setelah berziarah kami pun turun, ketika turun puncak pun kaki saya sakit-sakit dan gemetaran, Hafiz juga sudah beberapa kali terpeleset sampai sepatunya rusak.

Sebelum sampai pos 2 kami beristirahat sejenak sembari melihat pemandangan di sore hari. Selang 20 menit beristirahat kami pun melanjutkan perjalanan turun. Menjelang magrib dengan matahari yang mulai terbenam, kami belum sampai ke bascamp.

Di perjalanan yang mulai gelap, saya yang berada di posisi paling belakang entah mengapa tiba-tiba merasa merinding dan saya mendengar suara kresek-kresek. Saya abaikan suara itu dan mencoba tetap fokus jalan, karena saya paling belakang khawatir tertinggal jauh, saat itu hanya kami bertiga yang berada di jalur karena kami tidak ikut bareng sama rombongan lainnya.

Baca Juga:  SNOWBALL

Untuk mengisi keheningan, saya pun selalu bertanya “Bang masih jauh kah?” Dan jawabannya “bentar lagi sampai.” Posisi dalam pendakian menjelang malam itu, Suhandi di depan sebagai penunjuk jalan, Hafiz berada di tengah, dan saya di paling belakang. Walaupun saya berada di posisi paling belakang, namun saya tetap dipastikan aman oleh rekan-rekan saya, ya walaupun saya sedikit merinding dan tidak berani tengok kanan, kiri, dan belakang.

Kami tidak sempat merekam perjalanan kami, karena perangkat yang kurang memadai. Karena jarak yang sudah dekat dengan basecamp, kami pun tidak lagi mengurangi penerangan yang kami bawa.

Sekitar jam 18.20 WIB kami sampai di basecamp, kami istirahat dan melaksanakan shalat. Tepat pada pukul 19.20 WIB, kami pun memutuskan untuk meninggalkan basecamp. Awalnya kami berencana untuk lanjut ke pemandian air panas, namun kami urungkan karena sudah merasa kelelahan.

Kesan yang saya dapat dari pendakian pertama saya ini adalah bahagia dan haru karena bisa sampai di puncak. Tidak sia-sia saya mendaki sampai puncak, karena disuguhkan pemandangan yang sangat indah.

Bisa bertadabur dengan alam, kemudian merenung atas kekuasaan Allah SWT, dan perjalanan Sultan-Sultan Syeh beribadah dan bertapa di gunung ini sendirian. Kemudian ingat dengan perjuangan kita dari bawah sampai atas, sampai akhirnya berada pada titik puas.

Pesan saya dari perjalanan ini adalah ketika ingin mendaki kita harus kuat mental dan kesabaran untuk mendapatkan apa yang kita tuju, sampai akhirnya kita sampai ke tujuan. Jika tidak ditanamkan mental dan kesabaran pada seorang pendaki, saya yakin dia tidak akan sampai ke pada puncak gunung yang ia tuju. Dan dalam bertadabur usahakan tetap melaksanakan kewajiban, dalam perjalanan bisa sambil bersholawat dan melafalkan takbir atau lafal-lafal lainnya yang menyejukkan hati.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Lagi Trending