Cerita Kule

Tirta Amarta pada Tiap Puncak Ancala

Published

on

Oleh: Irkham Magfuri Jamas

Saat ku duduk di teras rumah Bapak Ayadi Hidayat yang kerap ku sapa Abi, sosok guru spiritual tempat ku mengkaji ilmu agama dan hikmah. Abi duduk sama rata seraya berkata, “Lihat gunung itu. Di dalamnya terkandung emas. Emas dalam gunung itu bukanlah berbentuk bongkahan batu, tapi berbentuk butiran kerikil dan debu. Cara memisahkan emas dengan zat lainnya menggunakan air raksa. Emas hanya akan berkumpul dengan emas, dan tidak akan berkumpul selain dengan yang senyawa.”

“Begitulah Irkham, kalau Irkham itu bagaikan emas, maka Irkham hanya akan berkumpul dengan emas. Dan perlu diingat, emas itu jumlahnya sedikit,” tutup nasihatnya seraya tersenyum.

Kalimatnya menghujam relung kalbu. Mendobrak benteng kokoh kekhawatiran. Dan mengurai benang kusut yang ada dalam alam pikiran. Sebab, nasihat tadi adalah jawaban dari sebuah tanya, “Ya Allah, kenapa sulit sekali mengajak orang ke arah kebaikan?”

Hati berdegup kagum, melihat tanda-tanda kekuasaan Allah itu. Abi hadir memperjelas pesan itu, pesan yang tak pernah ku baca. Sebab butanya pancaindra dalam melihat kasih sayang dan kuasa-Nya.

Berbekal motivasi yang Abi berikan, keceriaan tiba. Kini telah sirna semua galau di dada dan hanya tersisa senyum merona tersipu bahagia.

Gunung Tinggi
Penghujung 2019 lalu, ku berencana melakukan bersama kawan-kawan hijau hitam. Target summit kala itu adalah Sikulan Hijau Gunung yang ada di Pandeglang-Banten, tak setinggi Semeru apalagi Himalaya. 1174 MDPL yang mungkin terlihat tak ada apa-apanya. Tapi, tingginya gunung bukanlah arti dari sulitnya . Sebab tak peduli betapa tinggi gunung itu, yang membuatnya sulit didaki bukanlah ketinggian, tapi dimana awal mula , bagaimana rute pendakian ditempuh, dan seperti apa cuaca yang menyertai.

ditempuh dari permulaan yang rendah, rute yang curam, dan iklim yang panas. Jadi, kalau mau merasakan mendaki gunung bak dalam sauna mungkin kawan-kawan bisa mencobanya. Dengan kondisi medan bagai jenggala tandus, maka tak heran apabila memang sering dijadikan tempat melatih fisik dan mental bagi di Banten.

Pendakian dimulai. Drama mulai hadir tatkala rasa letih tiba. Salutnya, dalam perjuangan ini semua mencoba untuk saling berkontribusi meringankan beban satu sama lainnya. Pelajaran sejak sekolah dasar tentang gotong royong benar-benar terasa. Dimana mereka yang masih memiliki stamina membantu meringankan anggota lainnya. Dan disana, seketika aku belajar makna perjuangan yang diperjuangkan bersama-sama.

Baca Juga:  DEKAPAN TUHAN

Munculah motivasi kuat dalam hati, “Aku harus kuat! agar dapat lebih bermanfaat. Jangan sampai kelemahan ini dimaklumi dan hanya membebani rombongan. Sebab suatu kehinaan bila datang sekedar untuk memakan tulang.”

Perjalanan itu menumbuhkan banyak rasa syukur. Sepotong buah melon yg dilahap terasa sangat nikmat. Bertemu sungai kecil untuk melepas penat dan dahaga bagai bertemu tirta amarta yang menyejukkan jiwa raga. Pendakian, memang banyak mengandung pengajaran.

Sifat dan karakter asli manusia benar-benar tampak. Yang kikir, yang egois, maupun yang berkeluh kesah semua tampak dibawah terik baskara.

Lagi-lagi hal itu membuat ku takjub tatkala menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah. Sebab hal itu benar-benar menampakkan apa yang telah dinukil dalam Qur’an surat Al Ma’arij

۞ اِنَّ الْاِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًاۙ
Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh.

اِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًاۙ
Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah,

وَّاِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًاۙ
dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir,

اِلَّا الْمُصَلِّيْنَۙ
kecuali orang-orang yang melaksanakan shalat,

الَّذِيْنَ هُمْ عَلٰى صَلَاتِهِمْ دَاۤىِٕمُوْنَۖ
mereka yang tetap setia melaksanakan shalatnya.
(Al-Ma’arij: 19-23).

Kita sadari, bahwa aslinya semua manusia itu suka mengeluh, suka berkeluh kesah juga kikir. Terkecuali bagi mereka yang mendirikan shalat. Maksudnya seperti apa? Yakni mereka yang Istiqomah shalatnya. Yakni sholat yang senantiasa menyertai tiap detik hidupnya.

Malam hari tiba, kini surya telah usai menerangi belahan dunia tempat kita mendirikan tenda. Sepoy hawa dingin mulai turun dari cakrawala. Dan tibalah saatnya kita membutuhkan hangat dari sang anala. Bahu membahu mengumpulkan kayu bakar yang akan menjadi tempatnya hidup. Bagai emosi, bila ia menyala dan terkendali, lahirlah nikmat tanpa cela yang terasa.

Adzan subuh terdengar sahut berkumandang, menyuarakan keindahan dan ketenangan. Sembahyang di punggung gunung, ditemani dinginnya anila dan hangatnya anala. Di atas, ada kemerlap bintang cakrawala. Di bawah ada gemerlap cahaya rumah warga. Adalah potret momen berkualitas yang terkenang sepanjang masa.

Sesekali komet tertangkap melintas dalam langit gelap. Anila membelai wajah setelah dedaunan. Sepoy-sepoy terasa. Ternyata disini indah.

Baca Juga:  Tenang, Kamu Ga Sendiri Kok

Perjalanan segera dilanjutkan menuju puncak, dengan target menikmati sunrise dari puncak Aseupan. Tak lama tibalah kita di puncak. Bersabar menikmati detik-detik munculnya surya. Beruntung saat itu cuaca bersahabat. Mega putih terhampar sejauh mata memandang. Terlihat kilau emas fajar memancar dari celah-celah awan, menyinari sawah di kaki gunung. Keindahan yang tak bisa diungkap oleh kata, sebab lisan dan aksara terlalu miskin untuk melukiskannya.

Tak ku sangka, langkah demi langkah kecil itu kini menaklukkan gunung yang tinggi ini. Sejauh apapun pergi ternyata kita tetap mengharap kembali. Seindah apapun hal yang dialami tetaplah selalu ada rumah yang dirindukan. Kita sadari, dunia hanyalah tempat tinggal sementara bukan tempat untuk menetap selamanya.

Aseupan dan ingatan tempat untuk berpulang.


Euforia masa muda “Darah muda, darahnya para remaja. Yang selalu merasa gagah dan tak pernah Meu mengalah. Masa muda, masa yang berapi-api. Yang maunya menang sendiri kalau kalah tak peduli.” Begitulah kata Bang haji Rhoma Irama.
Dorongan diri untuk terlihat hebat, disanjung-sanjung bahkan dijunjung-junjung lekat dengan rasa tak mau kalah dan mengalah. Dorongan yang banyak sekali mendominasi dada pemuda ini memang perlu dikendalikan dan diedukasi supaya emosi dan tenaga tersalurkan efektif dan tepat guna.

Dalam torehan sejarah kita akan sadar bahwa suatu kegemilangan, suatu kebesaran adalah perjuangan yang konsisten dibawa dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Sebab akhirnya kita sadari kegemilangan hanyalah puncak kecil dari tumpukan kegagalan. Tapi celakanya pemuda hari ini terdegradasi, mereka tak siap untuk menghadapi kegagalan. Padahal gagal merupakan tangga menuju kesuksesan. Bila mereka terhenti dari salah satu anak tangga itu, tentu tak ada puncak yang dapat digapai.

Tafsir kesuksesan janganlah hanya dilihat dari hasilnya. Sebab, bisa jadi suksesnya kita karena ada mereka yang berani mengorbankan dirinya untuk menopang kebesaran yang saat ini tampak di permukaan.

Bagai , bongkahan es di bawah permukaan laut lebih besar dibandingkan yang nampak di permukaan.

Jas Merah
Jangan sekali-kali melupakan sejarah

-Soekarno

Irkham Magfuri Jamas
Mahasiswa Syariah Untirta
Ketum HMI MPO Cabang Serang

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Lagi Trending