SERANG, suarahimpunan.com – Kebebasan berpendapat nyatanya masih menjadi momok yang mengerikan di beberapa kalangan. Terlihat dalam aksi yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Tangerang (Himata) dalam rangka HUT Kabupaten Tangerang ke-389 pada Rabu (13/10) berlokasi di Kawasan Pusat Pemerintahan Kabupaten Tangerang, Tigaraksa.
Bukannya mendapat peluk hangat, malah mendapat ‘smack down‘ aparat, begitulah kiranya hal yang mewarnai penyampaian aspirasi itu.
Dalam jejak dokumentasi, terekam aksi mengalami kericuhan, bentrokan antara massa aksi dan aparat pun tak bisa dielakkan. Kemungkinan terjadi bentrokan dalam aksi adalah hal yang tidak bisa dipungkiri. Namun, pengamanan massa aksi pun ada prosedurnya, dan tentu hal yang terekam dalam video sudah menyalahi prosedur yang ada.
Melalui rekaman yang beredar, terlihat bagaimana aparat mengamankan massa aksi dengan cara yang dinilai ‘brutal’. Massa aksi di banting ke trotoar jalan hingga mengalami sesak nafas.
Tindakan aparat tersebut tentunya menuai banyak kecaman dan kritik dari beberapa kalangan. Di antaranya dari Gerakan Pengawal Serang Madani (GPSM). Ketua GPSM, KH Jawari mengatkan bahwa oknum kepolisian tersebut harus segera ditindak secara hukum.
“Tindakan brutal dan kekerasan terhadap para aktivis dan warga negara oleh oknum kepolisian saat menyampaikan aspirasi harus dihentikan, dan kami meminta kepada Mabes Polri untuk menangkap dan mengadili oknum polisi tersebut,” ujarnya.
Pihaknya juga meminta kepada Mabes Polri agar melakukan evaluasi terhadap kinerja pihak kepolisian dalam pengamanan massa aksi.
“Kami meminta kepada Kapolri untuk melakukan evaluasi atas kinerja Kepolisian yang melakukan pengamanan demo Mahasiswa di Tangerang Banten,” lanjutnya.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan pun turut mengecam tindakan represifitas yang dilakukan oleh oknum kepolisian tersebut. Advokat Publik LBH Keadilan, Muhamad Vikram, meminta agar Kepolisian menindaklanjuti kasus ini.
“LBH Keadilan mendorong Kepolisian RI dan Polda Banten untuk memberikan perhatian serius atas kejadian represif yang dilakukan oleh anggotanya saat mengamankan masa aksi sehingga mengakibatkan intimidasi dan kekerasan fisik. Atas hal-hal tersebut, sudah seharusnya pelaku yang melakukan tindakan tersebut mendapatkan sanksi yang tegas,” tuturnya.
Pihaknya juga meminta kepada Kapolda Banten agar mencopot Kapolres Kabupaten Tangerang dari jabatannya.
“Sebagai bentuk pertanggungjawaban pimpinan, sanksi juga patut diberikan kepada Kapolres Tangerang. Kapolda Banten sebaiknya mencopot Kapolres Tangerang dari jabatannya. Hal ini penting dilakukan untuk menjaga citra kepolisian sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat,” ujarnya.
Peneliti HAM dan Sektor Keamanan LSM SETARA Institute, Ikhsan Yosarie pun angkat bicara terkait tindakan represif yang dilakukan oleh oknum aparat ini. Menurutnya, hal ini sudah melanggar hak massa aksi yang sudah dijamin.
“Tindakan aparat yang demikian jelas mencerminkan dehumanisasi terhadap masa demonstrasi yang hak-haknya dijamin konstitusi,” ujarnya.
Pihaknya juga menerangkan, tindakan kekerasan aparat yang terlihat jelas dalam video yang telah beredar jangan sampai direduksi hanya dengan video-video yang memperlihatkan kondisi korban yang telah atau masih baik-baik saja.
“Selain rentan di rekayasa dan penuh tekanan, model penyelesaian demikian juga melahirkan impunitas aparat dan menihilkan pertanggungjawaban. Cara-cara konvensional menutupi praktik kekerasan seperti ini hanya menimbulkan kecaman lanjutan dari publik dan sama sekali tidak menyelesaikan masalah,” terangnya.
Sayyidatul Insiyah, Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute, menegaskan bahwa Kapolri harus memberi sanksi kepada Kapolres Kabupaten Tangerang.
“Selain menindak dan menghukum pelaku kekerasan, Kapolri memberikan sanksi kepada Kapolres Kabupaten Tangerang sesuai derajat kelalaiannya. Jika perlu copot dari jabatan agar menjadi preseden dan efek jera bagi pimpinan-pimpinan Kepolisian daerah yang tidak tegas mendisiplinkan anggota-anggotanya dalam bertugas,” tandasnya.
Kelompok Kerja (Pokja) Wartawan Harian dan Elektronik Provinsi Banten pun turutmengutuk tindakan represif yang dilakukan oknum aparat tersebut. Ketua Pokja Wartawan Harian dan Elektronik Provinsi Banten, Deni Saprowi, mengatakan bahwa perlakuan oknum tersebut bertentangan dengan jargon Polri yang Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan (Presisi).
“Gerakan mahasiswa merupakan gerakan moral. Kehadirannya diperlukan sebagai representasi dari aspirasi-aspirasi masyarakat. Maka seharusnya Polri bisa mengayomi massa aksi agar berjalan dengan lancar,” ujarnya.
Pihaknya menilai, tindakan tersebut telah menambah catatan buruk bagi pihak kepolisian dalam penanganan massa aksi.
“Sikap arogan polisi yang dipertontonkan menjadi catatan buruk atas upaya pengamanan terhadap massa aksi yang tengah melangsungkan hak untuk menyampaikan pendapat dimuka umum,” tuturnya.
Senada dengan kecaman sebelumnya, pihaknya juga mendorong Kepolisian RI dan Polda Banten untuk melakukan evaluasi kinerja.
“Reformasi birokrasi di tubuh Polri belum tuntas hingga hari ini, padahal rakyat sangat merindukan aparat yang humanis, profesional, melayani dan mengayomi,” tandasnya.
Masyarakat tentunya berharap, tindakan yang dilakukan Kepolisian pasca-tragedi bukan hanya pencitraan belaka. Tentu ini menjadi catatan tersendiri untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pihak Kepolisian.
(SALMA/ARA/WINA/ALDO)