Oleh: Yunda Saputri, Kader HMI MPO Komisariat Untirta Ciwaru
Humor Gus Dur yang satu ini mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita: “Ada tiga polisi jujur di Indonesia, yaitu polisi tidur, patung polisi, dan Jenderal Hoegeng.” Ya kurang lebih isinya begitu.
Kutipan yang pernah saya dengar ini kembali menarik perhatian saya, pasalnya baru-baru ini saya melihat dalam laman sosial media tentang bagaimana Jenderal Hoegeng memberikan sanksi pada tukang becak yang melanggar aturan. Bukan, bukan menegur dengan nada tinggi, bukan pula menegur dengan sikap arogan. Saya rasa, hal ini patut dijadikan contoh.
Saya tidak ingin menyoroti siapa itu sosok Jenderal Hoegeng secara mendalam, karena ini bisa teman-teman temukan dalam sumber lain. Yang menjadi sorotan bagi saya adalah bagaimana cara beliau menegur pelanggar aturan.
Terlebih, hari ini kita semua dihadapi dengan situasi dan kondisi yang rumit. Sebagaimana disinggung dalam tulisan-tulisan sebelumnya, kebijakan penanganan pandemi saat ini seolah tak berpihak pada masyarakat kelas menengah ke bawah.
Bukan hal tabu lagi bagi kita, edaran video penertiban yang kurang humanis dan disertai dengan sikap arogan. Menjadi problematika tersendiri bagi khalayak, tak ingin mati kelaparan, pun takut dihadapi dengan penertiban seperti itu.
Hingga muncul beberapa sindiran pedas dari netizen “Ini mah bukan mati karena virus, tapi mati karena kelaperan.” Ya kurang lebih begitulah sindiran pedas dari netizen yang sering saya jumpai di kolom komentar.
Penertiban yang diharap mampu menjadi pemutus mata rantai virus, malah akhirnya menjadi masalah baru lagi. Belum lagi sumber mata pencaharian mereka yang disita.
Mungkin kita sudah tidak asing dengan celetukan “Saya Satpol” yang viral di sosial media, yang kemudian dijadikan gurauan oleh orang banyak.
Selanjutnya akan kita sebut para pelaku ini dengan sebutan ‘oknum’ karena tidak semua orang yang berada pada profesi itu bertindak semena-mena dengan sikap arogan. Tindakan oknum inilah yang lantas mencoreng nama baik sebuah profesi.
Saya percaya, pastinya didikan mereka tidak main-main baiknya. Hanya saja, banyak orang yang lupa akan sopan santun setelah mendapatkan apa yang mereka kejar.
Seragam yang dikenakan seolah menyongsong ‘oknum’ menjadi manusia yang paling tinggi, seolah merasa paling bisa. Tapi mereka lupa, bahwa seragam hanya sekedar pakaian. Dan yang membuat kedudukannya tinggi di mata orang lain adalah cara mereka memperlakukan orang lain.
Itulah mengapa dalam Islam, adab lebih diutamakan daripada ilmu. Orang beradab kedudukannya pun lebih tinggi daripada orang yang berilmu. Hingga muncul sebuah pernyataan “orang yang berpendidikan, belum tentu terdidik.”
Dan itu benar…
Banyak orang yang mengaku berpendidikan, tapi pada realitanya hanya sebatas gelar. Pendidikan yang harusnya mencetak karakter individu untuk lebih peka, justru yang terjadi malah sebaliknya.
Ya begitulah potret yang ada, pangkat dan kedudukan seolah menjadi kuasa untuk bertindak semena-mena. Tidak, ini tidak dilakukan oleh semua orang berpangkat, hanya dilakukan oleh oknum-oknum saja.
Namun, di samping sisi negatif ini, ada juga beberapa tindakan yang membuat warga sosial media terharu.Ya, tindakan seorang aparat negara yang memborong dagangan seorang penjual. Harusnya, cara seperti inilah yang digunakan, agar tak mencekik perekonomian mereka.
Jangan gunakan arogansi, sebab arogansi bukanlah sebuah solusi. Alih-alih menertibkan, malah dapat sanksi sosial dari masyarakat.
Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan nada tinggi, buatlah orang lain segan karena ditegur dengan bijak.
Jangan kikis rasa kemanusiaan di tengah situasi yang rumit, jangan cekik mereka di situasi yang pelik. Mereka hanya mencoba menyambung hidup, bukan mencuri uang negara.
Semangat terus untuk orang-orang baik yang tetap mengedepankan rasa kemanusiaan 
Semoga pandemi lekas berlalu, dan perekonomian lekas pulih 