Oleh: Kanda Ocit Abdurrosyid Siddiq
Baru-baru ini di media sosial beredar video yang menayangkan seorang pria dewasa yang berceloteh tentang kebiasaan pelaku kejahatan yang mendadak berbusana muslim.
Dia menyatakan bahwa kebiasaan tersebut sebagai bentuk framing untuk menjatuhkan dan mencemarkan citra mulia agama. Dia mencontohkan PC istri FS yang mengenakan busana muslimah ketika dipanggil penyidik.
Menurutnya, mendadak seolah religius itu sesuatu yang “luar biasa”. Lalu mempertanyakan ide siapa tampil seperti itu yang publik mengesaninya sebagai seorang muslimah? Berkelit dengan mengatakan bahwa tidak identik dan menutupi rasa duka, menurutnya tidak bisa diterima.
Contoh lain yang dia sampaikan adalah penampilan pelaku pembunuhan atas seorang purnawiran letnan kolonel di Lembang Bandung. Sepintas mirip warga keturunan, tapi ketika diperiksa oleh penyidik, berpenampilan religious; memakai peci.
Lalu menambahkan contoh lain, yaitu Jaksa Pinangki, yang tampil “solehah” dengan menggunakan kerudung. Berbeda dengan penampilan keseharian sebelumnya yang modis dan berbusana selutut, menyisakan bagian tubuh lainnya yang dianggap aurat.
Pada bagian akhir, dia menyimpulkan bahwa semua ini adalah framing. Lalu menyertainya dengan menjawabnya sendiri, bahwa penampilan para penjahat itu sepertinya sedang meraih simpati dari masyarakat. Tapi, ini bisa merusak citra Islam.
Sebagai penutup, dia menyampaikan rasa kecewa ketika di tengah gencarnya larangan menerapkan politik identitas, mengapa disisi lain aparat penegak hukum sendiri melakukan hal itu.
Seperti biasa, tanpa harus melakukan tarik nafas dulu, para netizen langsung membombardir tayangan berdurasi 2 menit 23 detik itu, dengan sumpah serapah. Siapa yang dimaki? Siapa lagi kalau bukan rezim yang berkuasa saat ini.
“Mereka yang benci sama kadrun, tiba-tiba mendadak jadi kadrun” atau “Simbol Islam dipakai ketika ada manfaatnya. Sebentar lagi 2024 akan banyak yang jadi kiai dadakan, ustadz dadakan, jilbaber dadakan” demikian diantaranya.
Bahkan tak sedikit yang mengaitkan perilaku itu dengan komunis dan PKI. Mungkin sebagai ekspresi ketidak-terimaan atas kadar kejahatan para terdakwa dengan tampilan saat ini. Padahal tak ada relevansinya dengan komunis dan atau PKI. Apa karena sekarang sudah masuk September? Hehe…
Sebetulnya, ada larangan bagi para pelaku kejahatan untuk menggunakan pakaian religious ketika mereka sedang dalam proses penyidikan dan persidangan di pengadilan. Larangan itu dari Jaksa Agung, keluar sekitar Mei 2022.
ST Burhanuddin menerbitkan surat edaran yang melarang terdakwa yang sedang berperkara di persidangan, mengenakan simbol agama. Kebijakan ini menuai dukungan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis menyatakan setuju atas regulasi ini.
Menurutnya, dulu ia sempat mempertanyakan kebiasaan para terdakwa yang mendadak soleh itu. Ia mengaku risih melihat pakaian simbol muslim dipakai para terdakwa. Ia menyarankan, sebaiknya para terdakwa menggunakan pakaian yang mudah dikenali, khususnya terdakwa korupsi.
Fenomena mendadak alim ini sejatinya sudah jamak kita saksikan di berbagai persidangan. Bukan hanya pada saat ini. Jauh sebelumnya, sejak masa Orde Baru, pelaku kriminal sudah terbiasa menggunakan pakaian islami ketika hadir di persidangan.
Dugaan saya, kebiasaan tampil demikian adalah cara para terdakwa untuk meraih simpati. Seolah mereka adalah pribadi yang baik, soleh, agamis, walau sejatinya mereka adalah durjana, bromocorah, pembunuh, pemerkosa, maling, dan koruptor.
Dengan tampil begitu, diharapkan majelis hakim, jaksa penuntut, dan masyarakat menaruh belas kasihan dan setidaknya permakluman atas kejahatan mereka. Jadi bukan framing, bukan mencitrakan buruk suatu agama, apalagi sampai pada politik identitas. Jauh jasa!
Apalagi fakta menunjukkan bahwa fenomena itu bahkan sudah ada sejak dulu, sejak zaman Orde Baru. Sejak belum ada istilah cebong, kampret, kadrun, dan bani aseng. Sejak seluruh warga bangsa masih bersatu tanpa politik identitas, dibawah rezim otoriter, hehe…
Bagi saya, bahkan kebiasaan para terdakwa dengan berpakaian muslim dengan maksud mau menuai simpati, ada baiknya. Bukankah itu sebagai wujud pengakuan bahwa Islam, muslim, dan berpakaian islami itu memang baik, bahkan bagi orang kafir sekalipun! Wallahualam.