Literatur

Katastrofe Krisis Eksistensi HMI

Published

on

Kesenjangan sosial dan polemik kebangsaan belakangan ini benar-benar membutuhkan pendekatan objektifikasi yang kritis, sebab nampaknya kekuasaan sangat percaya diri dalam menjalankan segala kebijakannya kendati harus membabat habis seluruh kehendak rakyat. Hal ini ditandai dengan beberapa kebijakan yang terkesan dipaksakan dan melindungi kepentingan kekuasaan. Misalnya, penetapan UU NO 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang cenderung menciderai independensi KPK, hadirnya UU Omnibus Law yang dianggap banyak membangun kompromi dengan pemilik modal, mengeksploitasi rakyat kecil hingga melanggengkan oligarki dan masih banyak polemik lainnya mengundang perlawanan dari rakyat namun selalu dimenangkan oleh kekuasaan.

Sebagai organisasi mahasiswa Islam tertua dan memiliki ratusan cabang, sangat berpotensi menjadi lokomotif perubahan yang berkedok intelektual. Namun belakangan cenderung tidak solutif hingga gugup dalam mengambil sikap, apalagi di saat harus bersebrangan dengan pemerintah. Terbukti saat Ubedillah Badrun melaporkan dua anak presiden yang diduga terlibat dalam kasus KKN, hanya ada satu kepengurusan PB yang memberikan komentar terkait kasus ini. Ketika Haris Ashar (Direktur Lokataru) dan Fatia (Koordinator Kontras) harus diperiksa oleh Polda Metro Jaya karena dilaporkan oleh salah satu Menteri Jokowi tentang pencemaran nama baik, HMI justru tidak mengambil sikap. Sementara dalam konteks ini, rakyat dipertontokan dengan tayangan pejabat negara yang memolisikan rakyatnya sendiri. Bukan sebuah kemustahilan kekuasaan dapat mengintervensi proses berjalannya hukum, sehingga HMI seharusnya hadir memastikan bahwa prosedur hukum berjalan tanpa ada intervensi.

Kepemilikan independensi mengafirmasi kebebasan HMI dalam bertindak. Independensi tidak dimaksudkan bersikap netral dan berdiam diri, tapi independensi harus memosisikan diri untuk berpihak pada kebenaran yang berdasar dalam hal ini berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Menjadi organisasi yang tidak terikat pada partai atau kekuasaan harusnya mejadi kesempatan untuk mendorong gagasan moral dan pikiran kritis, memitigasi seluruh masalah sosial kendati dalam tekanan kekuasaan. Bukan justru berdiam diri dan terjebak pada kesadaran semi intransitif seperti yang dikemukakan oleh Paulo Freire, yakni ketika entitas kelompok gagal dalam mengobjektifikasi fakta namun sebetulnya menyadari ada banyak masalah.

Menilai eksistensi HMI harusnya dilihat dari dua aspek, pertama sejauh mana HMI memassifkan perkaderan ditingkat komisariat, mengekspansi cabang dan memantaskan intelektual setiap kader. Kedua mengafirmasi keberpihakan dalam ruang sosial sebagai manisfestasi perjuangan di pasal 8 Konstitusi HMI dengan mengedepankan independensi sebagai satu sifat mutlak. ALLAH SWT berfirman “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 104) ayat ini menjadi salah satu nilai yang harus diterjemahkan HMI mengafirmasi perjuangannya dalam setiap dimensi termasuk sikap sosial-politiknya, bukan justru menjadi organisasi yang syarat kepentingan pesanan. Maka dengan itu HMI bukanlah apa-apa tanpa melaksanakan perkaderan dan perjuangan.

Baca Juga:  Pentingnya Mencari Informasi dengan Benar

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Lagi Trending