Literatur
Kaum Intelektual Dewasa Ini
Published
3 tahun agoon

Oleh: Kanda Ikmal Anshary, Kader HMI MPO Komisariat UIN SMH Banten
INTELEKTUAL – Menjelmakan kata hati masyarakat menjadi fikiran-fikiran intelektual, dan hal ini pula menjadi tanggung jawab seorang intelektual. Masyarakat kita memiliki image sendiri tentang intelektual, dan itu kemudian berkembang menjadi pengharapan yang mengendap dalam lubuk hatinya.
Konsep masyarakat tentang intelektual niscayalah gambaran-gambaran tentang manusia yang merupakan ‘inkarnasi‘ dari empu yang bertugas mengawal nurani dan menerjemahkan kata hati masyarakat ke dalam formula-formula akademis. Polemik yang terjadi tentang peranan intelektual dalam masyarakat (yang sedang membangun) bukanlah sesuatu yang baru, polemik itu latensi sifatnya, dan tidak harus berarti tidak bermanfaat.
Masyarakat kita memiliki image sendiri tentang intelektual dan kemudian berkembang menjadi pengharapan yang mengendap dalam lubuk hatinya. 11 Juni 1957 di Universitas Indonesia dalam pidatonya Dr. M. Hatta: “Dan tanggung jawab seseorang akademikus adalah intelektuil dan moril! Ini terbawa oleh tabiat ilmu itu sendiri, yang ujudnya mencari kebenaran dan membela kebenaran.“
Sosok intelektual yang ‘menyimpang‘ dari konsep tersebut pastilah akan disorot tajam oleh masyarakat. Intelektual yang menyimpangkan harapan masyarakat, akan berkata sebagai pembenaran atas tingkah lakunya itu, bahwa yang mereka lakukan adalah merupakan penyesuaian semata terhadap proses perkembangan masyarakat. Dalam masyarakat pra-kapitalis toh tidak bisa lain intelektual harus memasuki rak-rak pasaran yang sudah tersedia, sebagaimana telah dicontohkan oleh masyarakat yang sudah kapitalistis.
Oleh karena itu harapan dianggap wajar, kalau ada intelektual yang menjadi pembela kepentingan modal asing. Dan harus dianggap hal yang biasa-biasa saja kalau ada intelektual yang oleh karena wewenang birokratisnya dapat tidur berbantalkan fulus, apa aneh?
Editorial Harian Merdeka tanggal 27 Februari 1981 di antaranya mengatakan: “…Bahkan masa di mana teknokrasi atau intelektualisme berperan besar kini, dianggap sebagai masa yang telah dibebaskan dari emosi dan retorika, dan sebaliknya dipimpin oleh rasio dan akal budi adalah suatu pandangan yang akurat. Meski gejala seperti diutarakan harian Merdeka itu bukan tidak pernah disorot tajam tatkala intelektual birokratis ini baru saja naik panggung.”
S. Tasrif, pengacara dan tokoh wartawan senior, dalam tulisannya yang berjudul “Situasi Kaum Intelektuil di Indonesia” (Budaya jaya No. 4/Th. I, September 1968) menulis: “…,bagian terbesar kaum intelektuil kita telah kembali ke kandangnya, telah “dipungut” lagi oleh yang berkuasa, sekalipun yang memungutnya itu adalah perintah yang telah bertekad untuk menegakkan Orde Baru, untuk menegakkan Rule of Law dsbnya di Indonesia.”
– Dan kini kaum intelektuil kita telah terbenam kembali dalam sleur dan routine sehari-hari dalam pekerjaannya di berbagai bidang pemerintahan.
– Malahan banyak di antaranya yang telah menjadi golongan vested interest baru, kalaupun tidak dikatakan telah banyak juga yang dihinggapi penyakit korupsi.
– Dan dari mereka ternyata tidak dapat diharapkan lagi ide-ide besar untuk merombak struktur masyarakat yang sudah lapuk ini, apalagi untuk berbicara tentang perjungan menegakkan Keadilan dan Kebenaran!
Harian Merdeka maupun S. Tasrif bukanlah berdiri pada kedudukan memusuhi kaum intelektual, tetapi mereka sorot seperti yang disorot oleh hal ini adalah gejala genre intelektual birokratis masa pasca 1966. Sejarah republik sejak 1945 senantiasa memberikan peranan yang berarti kepada kaum intelektual, apakah itu intelektual non-partai, ataukah politisi intelektual. Kebanyakan, kalaupun tidak hendak dikatakan bagian terbesar, dari mereka berpulang dengan nama-nama yang harum, sedang yang masih hidup dihormati dengan tulus oleh masyarakat.
Hal tersebut agaknya disebabkan genre intelektual pasca-proklamasi adalah orang-orang yang dibesarkan di dalam kancah perjuangan, orang-orang yang memiliki akar sampai kepada lapis terbawah dari masyarakat, orang-orang yang memiliki keyakinan transendental, orang-orang yang menempatkan the power of the reason di bawah sinaran iman, orang-orang yang sangat menghayati bahaya imperialisme dan kapitalisme, orang-orang yang tidak memiliki kompleks rendah diri bila berhadapan dengan orang bule.
Genre intelektual birokratis sekarang ini pada umumnya adalah orang-orang yang bersuara lantang pada waktu Simposium “Kebangkitan Semangat 66: Menjelajah Tracce Baru” yang diadakan di Universitas Indonesia tanggal 6-9 Mei 1966, forum tersebut dapat mereka nikmati sebagai buah dari demonstrasi mahasiswa dan pelajar sebagaimana dikatakan oleh S. Tasrif dalam tulisannya: “Di samping itu tentunya merupakan fakta sejarah juga bahwa yang semula tampil ke depan menyerang rezim lama itu bukan kaum intelektuil kita, tapi pelajar-pelajar dan mahasiswa-mahasiswa kita dari KAPI/KAPPI dan KAMI. Kaum intelektual kita baru tampil ke muka after the fireld has been cleared oleh pemuda kita.”
Tetapi di samping mereka baru tampil ke muka setelah situasi lapangan dijernihkan‘ oleh para mahasiswa dan pelajar, terdapat juga di antara genre intelektual birokratis sekarang ini yang hanya mengikuti berita-berita demonstrasi dari kejauhan nun di Eropa sana. Jadi dapat dimengerti kalau dari jurusan nilai-nilai moral genre intelektual birokratis dewasa ini agak sulit untuk diperbandingkan dengan genre intelektual pasca-proklamasi. Tidak syak lagi di dalam rangka pembangunan, intelektual sangat diperlukan. Tapi, intelektual yang bagaimana?
Wassalam
Anshary
30 September 2021
Referensi:
Saidi, Ridwan. 1983. Islam Pembangunan Politik dan Politik Pembangunan. Jakarta: Pustaka Panjimas
You may like

Duh, Pengurus Besar HMI MPO Diduga Minta-minta THR Pakai Surat Resmi

Polda Banten Bersama Gerakan Mahasiswa Pamarayan Sinergi Ciptakan PSU Kabupaten Serang Kondusif
