Menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang, Feri Amsari mengatakan bahwa tidak ada dalam UUD 1945 pengaturan secara jelas mengatur ambang batas pencalonan Presiden, serta mengatakan bahwa Pasal 6 ayat 2 UUD 1945 pun bukan open legal policy, seperti yang dikatakan Hakim Konstitusi.
Tak ada ketentuan yang menyebut pasal itu bisa diatur lebih lanjut dalam perundang-undangan. Dari berbagai kajian pun menganggap bahwa peraturan ini dibuat semata-mata hanya untuk menguntungkan suatu kepentingan kelompok saja.
Selain itu, pasal 6 UUD 1945 yang dijadikan dasar Presidential Threshold seharusnya hanya mengatur terkait dengan tata cara pemilihan presiden saja, bukan dijadikan syarat. Hal ini tentunya membuat kita semakin bertanya-tanya “Lalu peraturan ini dibuat atas dasar apa?“
Sejauh literatur yang saya baca, peraturan ini didukung hanya berlandaskan oleh argumen yang menyatakan bahwa peraturan ini akan mendukung jalannya pemerintahan presiden terpilih serta terkait efisiensi pelaksanaan Pemilu, dengan menyederhanakan atau membatasi jumlah calon pada Pemilihan Presiden (Pilpres). Tentu saja hal ini bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang ada.
Seharusnya ajang Pilpres bisa menjadi salah satu ajang pencarian calon pemimpin negara yang ideal bagi rakyat, bukan ideal bagi golongan tertentu atau kepentingan tertentu. Adu konsep dan gagasan untuk menyelesaikan segala carut marut permasalahan yang dialami Indonesia pada dewasa ini seharusnya menjadi sesuatu ajang Pilpres yang ideal, sedangkan jika berpangku tangan terhadap kursi di parlemen sangat rawan dengan politik transaksional dan mahar politik yang berujung kepada mahalnya logistik politik sebagai muara terjadi KKN dalam pemerintahan.