Oleh: Kanda Ocit Abdurrosyid Siddiq
Masih ingat dengan nama Muhamad Kece? Hari ini, satu tahun lalu, ia berurusan dengan aparat penegak hukum. Tersebab dianggap menista agama; perkara sensitif yang bisa membangkitkan murka penganut agama walau tak agamis.
Kece ditangkap polisi, ia dianggap melecehkan agama, agama Islam. Ulahnya mencampuradukkan kalimat suci dalam Islam dengan nama Tuhan agama lain, membuat resah. Rasa resah umat inilah yang bisa menuai delik pidana baginya.
Dia juga mempersoalkan kitab kuning -yang menjadi rujukan suci umat Islam dalam hukum- yang dia anggap sebagai “sumber segala dusta” dan “membingungkan”. Tentu saja umat bereaksi; dilaporkan, ditangkap, dijebloskan, dan kini dalam sel tahanan penegak hukum.
Pada waktu yang berdekatan, Waloni juga ditangkap oleh aparat. Ya, Waloni, penceramah (muslim) yang sempat mendapat sanjungan dan apresiasi di lini masa media sosial ini. Disanjung karena merasa kagum, kagum karena cocok. Cocok karena satu pendapat, juga satu tabiat. Hayoo ngaku!
Waloni adalah seorang mualaf. Dia mantan pendeta pada Badan Pengelola Am Sinode GKI di Tanah Papua, Wilayah VI Sorong-Kaimana. Bahkan pernah menjabat Ketua atau Rektor Sekolah Tinggi Theologia (STT) Calvinis Ebenhaezer di Sorong tahun 1997-2004.
Tahun 2006 Waloni masuk Islam. Tidak berapa lama, menyandang sebutan ustadz. Menjadi penceramah yang dikenal keras dan blak-blakan dalam menyampaikan kebenaran. Bukan hanya keras tentang kebenaran saja, tetapi juga sikapnya kepada pemerintah.
Sama halnya seperti tabiat mualaf lainnya yang mendadak menjadi ustadz, isi dakwahnya mengupas habis kelemahan, kekurangan, kesalahan dan kekonyolan iman agama dia sebelumnya. Tema ini kerap menjadi pemikat bagi jamaahnya. Dia dielu, disanjung, dan dipuja. Ceramahnya selalu dinanti.
Yang ironi, pemujanya bukan hanya kalangan awam. Tetapi, juga mereka yang paham dan sudah berislam sejak lahir. Mereka yang pernah belajar di madrasah, mulai tingkat dasar hingga aliyah. Bahkan mereka yang sudah mengkaji Islam di level perguruan tinggi.
Bahwa pengetahuan dan ilmu bisa kita dapat dari mana pun dan dari siapa pun, itu ada benarnya. Undzur ma qola. Tapi ketika seorang muslim yang sudah “ngolotok” tentang Islam lalu terpukau oleh seorang mualaf, ini seolah kemarau setahun “lantis” oleh hujan sehari.
Tetapi, tidak salah juga bila kebanyakan orang menyukai ceramah dengan model cerita, apalagi cerita yang dianggap salah dan konyol. Seperti yang kerap dilakukan Waloni. Yesus, salib, genta, piano, doa dalam paduan suara, konsepsi teologi, dijadikan bahan olokan. Pada setiap akhir kalimat, disertai terbahak bersama.
Menyukai cerita, mungkin telah menjadi sifat kita pada umumnya. Bisa jadi ini dimulai dari kebiasaan kita waktu kecil yang sering mendengar dongeng. Dongeng jelang tidur. Maka tak heran bila untuk mendapatkan pengetahuan dan atau ilmu, kita lebih menyukai mendengarkan, dibanding membaca, apalagi mengkaji.
Mendapatkan pengetahuan dengan cara mendengar itu pasif. Karena pasif, mudah dan gampang. Sementara membaca, apalagi mengkaji itu aktif. Aktif itu butuh perjuangan. Karena malas, adalah wajar bila sebagian dari kita lebih memilih mendengar Waloni cerita daripada harus susah payah diskusi tentang teologi misalnya.
Sifat malas baca seperti ini juga menjadi fenomena akhir-akhir ini. Hal ini ditunjukkan dengan gejala seringnya sebagian dari kita berbagi informasi secara serampangan disebar tanpa mau mempelajari dulu, apakah informasi tersebut valid atau hoaks. Yang penting sebar. Perkara apakah benar atau hoaks, itu urusan belakangan. Share and run!
Perilaku nir literasi di era media sosial ini sungguh sebuah ironi. Akses untuk mendapatkan bahan bacaan demikian berlimpah. Tapi ogah berpayah. Sikap instan ini berbeda dengan era 90an, ketika saya masih remaja. Masa dimana media sosial belum dikenal, belum ada WhatsApp.
Waktu itu, bahan bacaan masih terbatas. Hanya buku, majalah, koran, stensilan, dan komik. Untuk mendapatkannya mesti beli, pake modal, pake uang. Kalau tak ada uang, nebeng baca di kios abang penjual. Semua dilakukan sebagai cara untuk mentradisikan literasi; budaya membaca untuk menambah dan memperkaya ilmu dan pengetahuan.
Masa itu, jangankan untuk pengetahuan, urusan libido saja beralas literasi. Bayangkan, sekarang mah akses tayangan film dewasa begitu mudah didapat sebagai media ritual “pra kondisi”. Di website, Twitter, Facebook, kita bisa mengaksesnya dengan beragam pilihan. Berlimpah. Dulu, sewa DVD player saja mesti urunan dan diam-diam.
Cara lain yang lebih murah dan terjangkau, ya tradisi literasi dipraktekkan. Baca Enny Arrow atau Nick Carter! Tetap menerapkan literasi walau sedang Waloni, kece kan? Pembaca yang seangkatan dengan Arrow dan Carter pasti mesem. Mesem penuh pengakuan.