Literatur

Seandainya Dosen Pembimbingku Tahu…

Published

on

Oleh: Kanda Alfin Husnain, Kader Komisariat Ciwaru

Tidak terasa, saat ini saya sudah kuliah selama 5 tahun. Disamping banyaknya tuntutan dari pihak-pihak terdekat agar menyelesaikan tugas akhir, saya juga selalu berpikir kenapa nasib ini (terhambat sidang skripsi) terjadi pada diri saya.

Padahal dari dulu selalu mengazamkan diri harus lulus tepat waktu, karena toh saya mempunyai kemampuan dan kemauan, saya sampai meyakini tidak akan seperti mereka (menunjuk para mahasiswa semester 9 ke atas).

Ternyata kenyataannya, sampai semester 10 ini pun saya belum menyelesaikan penelitian tugas akhir.

Diri terus bertanya tanya.

Apa penyebab ini semua?

Apakah karena kekurang mampuan saya dalam menyikapi tugas akhir?

Apakah karena ketidak mampuan saya dalam menyerap pelajaran?

Apakah karena kurangnya kemampuan saya dalam menyelesaikan tugas-tugas dalam hidup? Termasuk tugas akhir ini?

Apakah ini semua, karena kebodohan dan kedunguan saya sepenuhnya?

Saya sangat sadar bahwa saya memang bodoh. Suka sekali lupa dan tidak seperti mahasiswa lain yang mudah mengerti bila diberi sedikit arahan.

Saya sangat sadar bahwa saya memang dungu, sering tidak mengerti apa yg dimaksud dosen-dosen dan sangat kurang dalam menyikapi permasalahan yang tidak masuk akal sehat saya.

Tapi mohonlahh…

“Bila saya memang mahasiswa paling bodoh. Seharusnya berilah lebih banyak peluang untuk saya belajar. Lebih banyak fasilitas untuk saya berguru.  Lebih banyak waktu untuk saya memperbaiki kesalahan.

Baca Juga:  Bucin: Bukti Cinta

 Jangan tinggalkan saya,  jangan biarkan saya terus tersesat. Saya mohon bimbinglah saya, karena sayalah yang paling membutuhkan bimbingan.

Mungkin saya tak menjanjikan bisa menjadi yang terbaik, tapi saya berjanji akan menjadi lebih baik bila selalu ada yang bersedia untuk membimbing diri yang hina ini.”

Saya teringat penelitian guru besar jurusan Fotografi di University of Florida, yang saya dapati di buku Atomic Habbits karya James Clear.

Pada suatu semester di Universitas tersebut, guru besar bernama Jerry Uelsmann membagi mahasiswa fotografinya menjadi dua kelompok

Kelompok satu diberi nama kelompok “kuantitas”, sedangkan kelompok dua diberi nama kelompok “kualitas”. Dua kelompok ini memiliki penilaian yang beda selama satu semester.

Kelompok “kuantitas” akan mendapatkan nilai jika mereka mengumpulkan sejumlah foto. Semakin banyak foto yang terkumpul maka akan semakin banyak nilai yang didapatkan. Mahasiswa yg membawa 100 foto akan dapat nilai A, yg membawa 90 foto, dapat B dan 80 foto akan dapat nilai C dan seterusnya.

Sebaliknya, kelompok “kualitas” akan mendapatkan nilai hanya dilihat dari kualitas gambar tersebut. Semakin bagus dan sempurna karya itu maka akan semakin besar nilai yang didapat.

Pada akhir semester, Uelsmann mengumpulkan karya-karya mahasiswa dari kedua kelompok tersebut. Akhirnya dia mendapati bahwa ternyata semua foto terbaik dihasilkan oleh kelompok “kuantitas”.

Karena selama semester itu, kelompok “kuantitas” sibuk membuat foto, bereksperimen, menguji berbagai metode, dan belajar dari kesalahan-kesalahan mereka. Berbeda dengan kelompok “kualitas,”selama semester itu mereka hanya melamun tentang kesempurnaan. Sehingga mereka hanya sedikit menunjukkan bukti usaha mereka. Tidak ada dari mereka yg menggali teori-teori yang diajarkan di perkuliahan, sehingga hanya menghasilkan foto biasa-biasa saja.

Baca Juga:  Harapan Selalu Dibayangi Kesenjangan

Coba kita renungkan hikmah penelitian dari Uelsman tadi, mungkin kita akan mendapati bahwa pernyataan “kesempurnaan adalah musuh bagi kebaikan” memang nyata benar, atau bahasa Sundanya (jangan dibawa serius) “Perfect is enemy of the good.” Mustahil mendapatkan suatu karya yang fenomenal hanya dengan satu atau dua kali percobaan bung!! Mustahil. Perlu ada jatuh bangun bagi Picasso menghasilkan karya, Elon Musk menciptakan Space-X, Jack Ma dan Jeff Bezos menciptakan marketplace-nya.

Begitupun skripsi, jurnal atau karya ilmiah apapun. Bagaimana bisa menciptakan itu semua dengan sempurna, hanya dengan satu kali percobaan? Tanpa pembimbingan? Tanpa evaluasi? Tanpa revisi? Mustahill!. Suatu kemustahilan mendapat kesempurnaan dalam mengerjakan skripsi sedangkan bimbingan pun jarang,  mungkin beda cerita bagi anda yg anak Albert Einstein. Dan saya bukan termasuk.

Ketika mahasiswa akhir dituntut untuk menciptakan penelitian yang sempurna sedangkan bimbingan pun bahkan sangat jarang, salah besar kalau dari situ adalah mulanya mahasiswa belajar,  justru disitulah mulanya suatu kehancuran. Membuat mahasiswa makin menjauhi tugas akhir dan merasa malas dan lelah menghadapi kenyataan dunia akademik yang memusingkan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Lagi Trending