Oleh: Kanda Angga Candra Wijaya, Kader HMI MPO Komisariat Untirta Ciwaru
Sekolah menjadi satu-satunya lembaga yang diyakini dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan. Tak heran, pemerintah mewajibkan sekolah 12 tahun agar masyarakat mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup, sehingga bisa menjadi manusia yang lebih baik. Jika berbicara fungsi tentunya sekolah itu adalah lembaga yang menumbuh kembangkan potensi dasar peserta didik serta mengembangkan diri, baik dari segi pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
Namun apakah demikian?
Kali ini saya akan sedikit bercerita pengalaman saya saat SMA, masa labil dan masa di mana saya mulai banyak dihadapkan beberapa pilihan untuk masa depan yang baik atau sebaliknya. Tentunya bukan hanya saya, semua orang pasti mempunyai banyak pengalaman di sekolah, biasanya yang paling menarik adalah membahas tentang percintaaan (bagi yang punya).
Namun pernahkan kalian teringat seberapa besar kontribusinya sekolah terhadap pengembangan minat dan bakat yang kalian miliki? Atau mungkin pernah tidak, kalian melamun sendiri dan berfikir 12 tahun mengenyam pendidikan formal merasa tidak mengetahui apa-apa? (semoga saja tidak hehe)
Berbicara masa SMA, saya teringat salah satu teman saya pada masa itu, sebut saja Adit, orang yang saya kenal pada kelas 11 berambut gondrong dan memakai gelang menjadi diskriminasi tersendiri oleh gurunya. Namun entah kenapa sampai saat ini saya merasa heran, kenapa dulu rambut gondrong itu menjadi larangan bagi siswa? Dan apa korelasinya dengan pembelajaran?
Adit, teman saya yang lumayan bandel hampir setiap hari telat masuk kelas dan kadang-kadang bolos, muka ngantuk menjadi mimik utama pada saat belajar di kelas. Pernah ada satu momen, di mana dia telat dan guru yang mengajar saat itu melihat dia memakai gelang lalu bertanya “Kamu lepas gelang atau keluar?” dan dengan santainya Adit keluar, kocak memang.
Satu hal lagi yang menjadi perhatian saya adalah bukan tentang telatnya tapi apa korelasi gelang terhadap pembelajaran? Terlepas sopan atau tidak, tapi jika berbicara fungsi dan korelasi apa gelang dan rambut gondrong ini menghambat?
Namun, jika berbicara hakikat manusia tentu setiap orang mempunyai kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Adit ini memiliki hobi dan bakat dalam bermain musik, hampir setiap hari pada jam istirahat dia menghibur kami dengan gitar yang ia petik. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah sekolah dan guru memperhatikan hal ini?
Meskipun Adit adalah orang yang dianggap bandel karena penampilan dan sikapnya, namun justru sudah seharusnya sekolah menangani hal ini, bukan menutup mata tentang kelebihan lain yang Adit miliki.
Di sisi lain, tidak ada ruang untuk mengembangkan diri bagi Adit di bidang musik baik itu mata pelajaran maupun ekstrakulikuler. Tentunya menjadi penghambat potensi yang ia miliki, ini menjadi kontradiktif dengan pernyataan Ki Hajar Dewantara selaku tokoh pendidikan Indonesia mengenai pendidikan bahwa “Pendidikan adalah usaha kebudayaan yang bermaksud memberikan bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak didik agar dalam garis-garis kodrat pribadinya serta pengaruh-pengaruh lingkungan, mendapat kemajuan hidup lahir batin.”
Terlepas semangat maupun tidaknya Adit dalam belajar, menurut sistem dan kurikulum yang berlaku, ada kewajiban pendidik untuk mengembangkan potensi yang peserta didik miliki, karena memang setiap orang mempunyai karakteristik yang berbeda dan harus diberikan metode pembelajaran yang berbeda pula, kita tidak bisa menyamaratakan semuanya.
Hal ini selaras dengan pernyataan dari Albert Einstein “Semua orang itu jenius. Tetapi jika Anda menilai ikan dengan kemampuannya untuk memanjat pohon, percayalah itu adalah bodoh.” Mungkin jika seorang Adit diberi metode pembelajaran dalam bidang bermain musik dia akan lebih semangat dan lebih bisa mengembangkan potensi yang ia miliki.
Tentunya tugas pendidik juga harus bisa membimbing peserta didik agar bisa menemukan minat dan bakat serta bisa mengembangkan hal itu. Sehingga hal ini tidak kontradiktif dengan fungsi sekolah tadi, bukannya mengembangkan bakat yang peserta didik miliki, namun justru sebaliknya malah mematikan potensi dari peserta didik itu sendiri.