Pentingnya kedudukan khusyu, maka kehilangannya berarti rusaknya hati. Salah satu bentuk kekhusyukan adalah sa’at mengerjakan sholat. Dimana ibadah ini merupakan sarana besar dalam penyucian jiwa, sekaligus peresepan makna-makna kehamba’an, tauhid, dan kesyukuran.
Maka, khusyu dan sholat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dikutip dari buku berjudul ‘Mutiara Ihya ‘Ulumuddin’ karya Al-Ghazali bahwa penegakan sholat merupakan pemusnahan sifat angkuh dan pembangkangan terhadap Allah.
Oleh karenanya, penunaian sholat secara sempurna dapat memusnahkan ujub, ghurur, bahkan seluruh kemungkaran dan kekejian. “Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (al-Ankabuut : 49)
Sholat dapat memberi dampak seperti itu jika dikerjakan dengan sempurna dengan rukun-rukun, sunnah-sunnahnya, serta merealisasikan adab–adab zahir maupun batin. Salah satu adab zahir sholat adalah mengerjakannya dengan anggota tubuh secara sempurna.
Maksud dari zahir adalah secara lahiriyah dan secara kejiwa’an. zahir ini merujuk pada kata LAHIR, yakni segala sesuatu yang berwujud, nampak bisa diraba.
Sementara adab batinnya adalah kekhusyuan. Kekhusyuanlah yang dapat menjadikan sholat memiliki peran penting dalam penyucian jiwa dan berperangai. Rasulullah SAW bersabda, “ilmu yang pertama kali diangkat dari muka bumi adalah kekhusyuan.” (HR. ath-Thabrani dengan sanad hasan)
Allah juga menegaskan, bahwa kekhusyuan adalah ciri pertama orang-orang yang beruntung. “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu dalam sholatnya.” (al-mukminun : 1-2)
Diriwayatkan dari Basyar bin al-Harits dalam riwayat Abu Thalib al-Makki dari Sufyan ats-Tsauri, “Barangsiapa tidak khusyu maka sholatnya rusak.” Dan diriwayatkan dari al-Hasan, “Setiap sholat yang tidak disertai kehadiran hati, ia lebih cepat kepada hukuman,”
Mu’adz bin Jabal meriwayatkan, “Barangsiapa yang di dalamnya sholat masih mengetahui orang yang ada di samping kanan dan kirinya, maka tiada (pahala) bagi sholatnya.”
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba menunaikan sholat tetapi tidak ditulis untuknya seperenamnya dan tidak pula sepersepuluhnya.”
Terkait hadits tersebut, Abdul Wahid bin Zaid berkata, “Para ulama sepakat bahwa seorang hamba tidak akan mendapatkan nilai dari sholatnya kecuali sebatas apa yang ia sadari dari sholat itu.” Abdul Wahid bin Zaid menilai hal ini sebagai ijma’ atau kesepakatan para ulama.
Dan pendapat-pendapat seperti di atas yang diambil dari kalangan ahli fiqih yang wara’i dan para alim ulama. Berbagai atsar (perkata’an atau perbuatan sahabat atau tabi’in).
Mendukung persyaratan ini, hanya saja kedudukan fatwa dalam taklil (pembebanan) yang zahir diukur berdasarkan ketidakmampuan makhluk.