Literatur

Transisi Demokrasi, Politik Islam dan Peluangnya di Pemilu 2024

Published

on

Oleh: Kanda Firman Wijaya, Demisioner Ketua Umum Cabang Bogor 2006-2007

 

Pemilu tahun , secara politik das sollen diposisikan dalam agenda setting transisi Indonesia menuju era konsolidasi demokrasi. Pasca 25 tahun , kita bisa berdebat soal apakah demokrasi kita masih (terjebak) dalam fase transisi atau sudah mencapai fase konsolidasi? Arif Musthopa (2009) menyebutkan betul memang kita telah memasuki era demokrasi, namun demokrasi kita masih berdiaspora mencari bentuknya yang paling relevan dengan kondisi sosio-politik-ekonomi-budaya bangsa Indonesia. Dus menjadi berdasar jika Agus Widjojo, Gubernur Lemhanas (saat itu) pada kegiatan ‘Jakarta Geopolitical Forum,’ di Jakarta seperti dilansir Kantor Berita Antara (19/5/2017), mengatakan hingga saat ini bangsa Indonesia masih dalam proses transisi demokrasi, karena masih banyak elemen yang mencari penyelesaian masalah di luar prinsip dan konsep sebuah negara demokrasi.

 

Indonesia yang memilih jalan transisi dari rezim post-otoritarianism orde baru melalui Pemilu tahun 1999 memang belum berhasil keluar dari fase transisi demokrasi. Bahkan Azyumardi Azra (dalam “Demokrasi Mau ke Mana?,” Kompas, 12/12/2019) menyebutkan era telah dua dasawarsa berlalu. Namun kian banyak kalangan yang kritis dan skeptis terhadap masa depan demokrasi negara ini. Menurut Laporan The Economist Intellegence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia tahun 2020 mencatat skor terendah dalam 14 tahun terakhir. Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dengan skor 6.3, atau skornya menurun dari sebelumnya 6.48.

 

Memang tidak semua negara yang berhasil menjatuhkan rezim otoriter berhasil keluar dari masa transisi dan mencapai konsolidasi demokrasi. Misalnya Angola, masa transisi berakhir dengan meledaknya perang saudara dan kemudian mengembalikan kelangsungan rezim otoriter (Haramain dan Nurhuda:2000). Peter Worsley dalam “The Third World” (1983) menyebut gejala itu sebagai “siklus otoritarianisme.” Menurutnya rekonsolidasi otoritarianisme itu merupakan gejala khas negara- negara dunia ketiga. Mungkin inilah kenapa Samuel P. Huntington (1995;211) pernah menyatakan bahwa perubahan melalui jauh lebih sulit dairpada revolusi.

 

Pengalaman demokratisasi di negara-negara Amerika Latin menunjukkan bahwa waktu 10-15 tahun adalah waktu yang cukup untuk suatu masa transisi politik. Sedangkan Samuel P. Huntington menyebutkan transisi demokrasi dapat dilampaui dengan tiga kali penyelenggaraan Pemilu (yang demokratis). Tentu saja setiap negara memiliki dinamikanya masing-masing, tergantung pada kemampuan kita melakukan konsolidasi demokrasi, dalam arti memapankan sistem demokratik dan menempatkan figur-figur demokratik dalam pos-pos penting pemerintahan dan memuseumkan sistem dan figur-figur non-demokratik. Kiranya Pemilu tahun adalah momentum mengakhiri fase transisi demokrasi dan terwujudnya konsolidasi demokrasi.

Potret Politik Islam di Pemilu

Siti Zuhro (dalam diskusi di kantor Parameter Politik Indonesia, 29/11/2019) menilai dari Pemilu ke Pemilu, dari 1955 hingga 2019 menunjukkan tidak ada peningkatan signifikan dari partai Islam khususnya perolehan suaranya. Walaupun pada Pemilu 1955, partai berbasiskan Islam (Masyumi dan NU) mampu berada pada peringkat kedua dan ketiga dalam perolehan suara. Perolehan suara partai berbasis Islam tertinggi terjadi pada Pemilu 1955 dengan total 43,9 persen, sementara partai-partai nasionalis 56,1 persen. Kala itu, partai-partai Islam terdiri atas Masyumi, NU, PSII, Perti, PPTI dan AKUI. (Disampaikan pada Diskusi Politik Organisasi Mahasiswa (Diplomasi) Komisariat FAIPG Universitas Djuanda, di Sekber Ciawi Tipar, Selasa, 16 Mei 2023).

Baca Juga:  Krisis Multidimensi, Sudahkah Indonesia Merdeka?

 

Pemilu-pemilu Orde Baru, perolehan suara partai politik berbasiskan massa Islam tidak signifikan. Walaupun menurut R. William Liddle (1994) menyebutkan pemilu-pemilu orde baru adalah pengukur tidak sempurna sebagai kehendak politik rakyat. Pemilihan-pemilihan itu mencerminkan proses elektoral yang dikelola dan dikontrol sangat ketat sebagai hasil rancangan pemerintah –yang kekuasaannya terutama berasal dari dukungan Angkatan Bersenjata– untuk memperlihatkan keabsahannya kepada rakyat dan dunia luar sementara pada saat bersamaan menghindari sejauh mungkin pertarungan nyata antara kekuatan-kekuatan politik yang bersaing.

 

Menurut data web resmi KPU, pada Pemilu 1999 partai Islam mendapatkan 34,2 persen suara, lalu pada Pemilu 2004 mengalami peningkatan menjadi 43,27 persen suara.Namun, pada Pemilu 2009 jumlah suara partai Islam turun menjadi 30 persen. Padahal, jumlah parpol Islam yang mengikuti pemilu tak banyak mengalami perubahan. Pada Pemilu 1999 terdapat sembilan parpol Islam, Pemilu 2004 turun menjadi tujuh parpol, kemudian kembali menjadi sembilan parpol saat Pemilu 2009. Pada Pemilu 2014, dukungan ke partai-partai Islam sebesar 31,4 persen, sementara raihan suara partai nasionalis total 68,6 persen. Pada Pemilu 2019, dukungan kepada partai-partai Islam sebesar 30,1 persen, jauh dari dukungan ke partai-partai nasionalis, 69,9 persen.

 

Dengan melihat kembali gambaran perolehan suara partai politik pada pemilu 2019 lalu, bisa dilihat Politik identitas tidak mendongkrak suara partai-partai Islam dalam Pemilu Legislatif 2019, di mana perolehan suara mereka masih berkisar 30% seperti yang terjadi pada Pemilu 2014.

Baca Juga:  La Nyalla Tegaskan 2 Periode dan 5 Tahun Harga Mati

 

Politik Islam di

Menurut Muhammad Hanifudin, Peneliti Politik Islam dari The Political Literacy, tren penurunan perolehan suara partai Islam yang sudah terjadi pasca Pemilu 1999 akan terus terjadi. Hal itu merujuk pada Pemilu 2019, di mana partai-partai berbasis Islam tidak mampu mengalahkan dominasi partai berbasis nasionalis seperti PDI Perjuangan, Gerindra maupun Golkar.

 

Karena itu dalam waktu yang kian mendekat, partai berbasis Islam seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) maupun Partai Amanat Nasional (PAN) harus memikirkan dengan betul strategi politiknya untuk mendongkrak perolehan suara. Partai-partai bebasis massa Islam ini harus memikirkan cara untuk mendapatkan simpati umat Islam di balik menurunnya suara yang terus melaju. Penurunan ini, memang dipengaruhi banyak faktor. Di antaranya adalah lemahnya mesin/ struktur partai dan modal (keuangan) untuk menggerakan basis massa dan partai.

 

Di , politik Islam semakin akan terfragmentasi, karena pasca Pemilu 2019, terdapat 2 partai yang pecah. PAN pecah dengan berdirinya Partai Umat, PKS pecah dengan berdirinya Partai Gelora. Dus potensi kanibalisasi dalam tubuh partai politik Islam, yaitu perebutan suara pada massa yang sama.Hal ini terjadi karena banyak faktor, yaitu terkait representasi politik Islam yang tidak benar-benar kuat. Selain itu, basis masa yang hampir serupa atau hampir sama. PKB misalnya, basis masa hampir sama dengan PPP. Belum lagi terkait pecahan dari partai antara PKS dengan Partai Gelora.

 

Dalam kontestasi , kanibalisasi partai politik Islam sulit dihindarkan. Dalam arti, saling berebut suara pada basis massa yang sama kemungkinan tidak terhindarkan. Kondisi ini, diperparahi dengan perpecahan pengurus partai. Masing-masing pengurus, khususnya pengurus partai baru tentu membawa gerbong pengurus partai lama yang seide atau pengurus lama yang ingin mendapatkan posisi baru di partai baru. Hal ini nampak di elit Partai Umat dan Partai Gelora. Ceruk suara partai PAN dan PKS selama ini, tentu juga menjadi medan perang PAN-Partai Umat dan PKS-Partai Gelora. Itulah alasan, peta politik Islam diprediksi akan terus menurun pada Pemilu 2024 nanti, waallahu a’lam bissowab.

Lagi Trending