Oleh: Adi Yos Perdana Pengurus Pusat (PB HMI)
Suarahimpunan.com – Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan provinsi yang memiliki kekayaan sumber daya alam berupa mineral timah. Provinsi yang memiliki enam kabupaten dan satu kota tersebut terbagi atas dua pulau besar yakni Pulau Bangka dan Pulau Belitung.
Pulau Bangka terdiri dari Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka, Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten Bangka Tengah dan Kabupaten Bangka Selatan. Sedangkan Pulau Belitung terdiri dari Kabupaten Belitung dan Kabupaten Belitung Timur.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung juga memiliki banyak pulau kecil yang dikelilingi oleh lautan, sehingga antar pulau terpisah jarak oleh laut yang membentang.
Kondisi geografis tersebut sejak dulu telah memberikan dampak yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya untuk masyarakat setempat. Terutama terhadap kondisi perekonomian di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Dengan kondisi geografis yang terpisah dengan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia, perkembangan perekonomian masyarakat di Bangka Belitung cenderung dipengaruhi dari hasil sumber daya alam seperti timah, sawit dan hasil perikanan.
Kemudian secara historis lebih dominan dipengaruhi oleh pertambangan timah yang menjadi sentra mata pencaharian penduduk di Bangka Belitung.
Namun belakangan ini kondisi pertimahan di Bangka Belitung kian merosot, baik tentang tata kelola, regulasi hingga para penambang timah yang tidak dapat menjual timah sebab tidak ada yang mau menampung dan membeli timah.
Hal itu disebabkan karena terjadinya mega korupsi pada tata niaga timah dengan taksiran mencapai Rp. 271 triliun yang mengharuskan penyetopan aktivitas pertimahan yang ada di Bangka Belitung. Sehingga aktivitas ekonomi masyarakat Bangka Belitung makin hari semakin menurun bahkan di titik terendah.
Belum lagi dengan izin mengenai wilayah tambang rakyat yang pelaksanaannya masih simpang siur, kebijakannya memberikan ketidakpastian sosial ekonomi pada sebagian besar masyarakat Bangka Belitung terutama yang bermatapencaharian sebagai penambang timah.
Kasus korupsi tata niaga yang terjadi pada komoditas timah yang baru baru ini terkuak wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT. Timah Tbk (TINS) tahun 2015 sampai dengan 2022 terbukti memberikan dampak negatif pada aktivitas ekonomi masyarakat dan kesejahteraan masyarakat di Bangka Belitung.
Ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menyebutkan pada kerugian lingkungan hingga Rp. 271 triliun tersebut belum final dan masih menunggu rilis akhir penghitungan dari BPKP.
Ahli lingkungan IPB menyampaikan dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung (Kejagung), menghitung setidaknya kerugian kerusakan hutan dan lingkungan di Bangka Belitung (Babel) akibat kasus ini mencapai Rp. 271 triliun.
Diketahui, tidak kurang dari 21 orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Pada update terbaru, Kejagung menetapkan suami seorang aktris dan crazy rich PIK Harvey Moeis, Helena Lim hingga bos Lion Air Hendry Lie sebagai tersangka dalam kasus korupsi tersebut.
Selain oknum perusahaan swasta, 21 tersangka yang telah di tetapkan oleh Kejagung, terdapat pula Direktur Utama TINS tahun 2016-2021 dan Direktur Keuangan TINS tahun 2017-2018.
Diketahui skema korupsi yang terjadi dilakukan dengan cara yang spektakuler. Pada area blok pertambangan TINS terjadi penambangan ilegal swasta dan hasil penambangan itu kemudian dijual ke TINS dengan harga yang lebih mahal dibanding jika BUMN TINS tersebut menambangnya sendiri.
Para tersangka korupsi melakukan penyelewengan yang dibekali oleh negara berupa fasilitas dan kewenangan untuk mengelola uang rakyat pada (BUMN) TINS malah kongkalingkong dengan pencuri untuk mengeruk harta bagi kepentingan pribadinya.
Jika dilihat dari Teori Principal-Agent, terlihat bahwa si agen, yakni pengelola BUMN, telah menjadi agen yang jahat. Menurut Fraud Triangle Theory, orang melakukan kecurangan (fraud) termasuk korupsi.
Fraud Triagle adalah tekanan (pressure), kesempatan (opportunity) dan pembenaran (rationalization). Konsep segitiga kecurangan ini pertama kali diperkenalkan oleh Donald R. Cressey (1953) dalam disertasinya.
Cressey tertarik pada embezzlers yang disebutnya sebagai “trust violators” atau pelanggar kepercayaan, yakni mereka yang melanggar kepercayaan atau amanah yang dititipkan kepada mereka. Mereka yang seharusnya menjaga kekayaan negara malah berkhianat dengan merampoknya.
Melalui kasus ini dapat kita analisa dari sudut pandang lensa Principal-Agent Problem dan Fraud Triangle Theory menawarkan wawasan penting mengenai mekanisme internal dan eksternal yang gagal dalam mencegah korupsi, serta langkah-langkah pencegahan yang dapat diambil untuk mengatasi masalah ini.
Konsep Principal-Agent Problem memperlihatkan adanya ketidakselarasan kepentingan antara pemegang saham, dalam hal ini yaitu negara dan rakyat (principal) dan direksi atau manajemen (agen) PT. Timah Tbk.
Evaluasi BUMN TINS
Melalui Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT. Timah Tbk menjadi momentum perbaikan dan evaluasi secara keseluruhan BUMN TINS setelah diterpa badai mega korupsi yang menggemparkan Indonesia bahkan dunia.
Evaluasi secara mendasar perlu dilakukan oleh Menteri BUMN Erik Tohir terhadap jajaran komisaris dan direksi sebagai mandat Pemerintah mengelola perusahaan agar terus menghasilkan pemasukan bagi negara juga mengantisipasi terulang kembali korupsi dalam PT. Timah Tbk yang secara gamblang merugikan negara dan masyarakat.
Untuk mengatasi korupsi, sebuah pendekatan holistik yang memperkuat mekanisme pengawasan dan kontrol, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, serta memperketat penegakan hukum sangat diperlukan.
Hal ini mencakup kinerja dalam pengawasan yang lebih intensif dan efektif dari dewan komisaris terhadap kinerja direksi dan manajemen, serta pengembangan sistem kontrol internal yang robust melalui audit berkala dan transparan. Terlepas TINS adalah perusahaan terbuka yang sudah seharusnya memiliki tata kelola yang memenuhi standar.
Publikasi Informasi operasional dan keuangan perusahaan yang jujur dan terbuka akan meningkatkan akuntabilitas BUMN TINS, sementara pembangunan budaya anti-korupsi melalui inisiatif, seperti pelatihan etik, sistem whistleblowing, dan insentif untuk perilaku etis, akan memperkuat integritas organisasi.
Selain itu, kerja sama yang lebih erat antara lembaga penegakan hukum dan peningkatan kesadaran publik tentang dampak negatif korupsi diperlukan untuk mengurangi insiden korupsi di masa depan.
Untuk lebih efektif memerangi korupsi maka diperlukan upaya untuk membangun kembali kepercayaan dalam organisasi dan diantara stakeholders melalui praktik tata kelola yang baik. Ini berarti tidak hanya memperbaiki celah yang memungkinkan korupsi terjadi tetapi juga secara proaktif bekerja untuk mempromosikan transparansi, keadilan, dan akuntabilitas dalam semua operasi.
Upaya ini harus didukung oleh komitmen yang kuat dari puncak manajemen hingga ke level terbawah dalam organisasi untuk menegakkan prinsip-prinsip etik dan bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Mengadopsi dan menerapkan standar good corporate governance (GCG) yang baik. Ini bukan hanya tentang memperbaiki sistem yang rusak tetapi juga tentang membangun ulang kepercayaan dan memastikan bahwa tata kelola perusahaan dilaksanakan dengan cara yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Dalam menjawab tantangan ini, TINS dan perusahaan lainnya dapat belajar dari kesalahan masa lalu dan bergerak menuju masa depan yang lebih etis dan transparan.
Dengan kondisi tersebut maka Pengurus Pusat PB HMI, disampaikan oleh Adi Yos merekomendasikan:
1. Mendorong proses penegakan hukum atas korupsi tata niaga timah dilakukan secara transparan hingga ke akar akarnya juga dengan waktu yang efektif.
2. Mendorong Mentri BUMN dan Menteri ESDM untuk mengevaluasi jajaran Komisaris dan Direksi PT. Timah Tbk.
3. Mendorong Pemerintah Provinsi dan DPRD Babel mengeluarkan regulasi dan paket kebijakan mengatasi dampak korupsi yang terjadi di masyarakat serta mendorong PT. Timah Tbk untuk segera membantu melakukan pemulihan ekonomi masyarakat Bangka Belitung.
(RED/RRN)